Aspek kelima, nyenyak selama tidur. Sebenarnya orang tidur melalui beberapa fase
tidur, mulai dari fase tidak nyenyak, nyenyak, hingga tidak
nyenyak dalam tidur. Berkaitan
dengan kenyenyakan ini, para ahli menggambarkan tahap tidur
menjadi enam tahap (Maas, 2002).
Seseorang yang nyenyak tidur tidak mengalami gangguan internal maupun
eksternal yang menjadikan tidurnya tidak nyenyak. Termasuk gangguan internal adalah
mudah terbangun karena ingin kencing, suhu tubuh yang panas, dan sebagainya.
Termasuk gangguan eksternal adalah suara gaduh (seperti ketukan
pintu, suara mobil,
adanya pukulan di tembok, dan sebagainya).
Aspek keenam, waktu tidur yang cukup (minimal enam jam dalam
sehari). Bila seseorang dapat tidur dalam
waktu yang cukup, maka ia akan siap melakukan aktivitas-aktivitas yang harus
dikerjakannya saat ia tersadar.
Tentang waktu tidur yang cukup, diungkapkan oleh Maas (2002)
bahwa setiap orang mempunyai rekening utang tidur. Setiap orang perlu menyimpan
cukup tidur dalam rekening tersebut agar dapat menjaga kondisi homeostatis tidur
tetap stabil, suatu hal yang akan membuatnya awas sepanjang siang.
Tidur yang terjadi dalam diri seseorang adalah tabungan atau asset, setiap jam terjaga adalah penarikan
tabungan, atau utang. Seperti apakah neraca rekening tidur rata-rata orang? Ternyata
setengah dari penduduk dewasa memiliki utang tidur yang cukup besar.
Karena setiap jam yang dilewatkan seseorang untuk terjaga
menambah utang tidurnya, maka ia harus terus menerus menabung tidur dalam rekeningnya.
Sebagian orang perlu menabung sekitar delapan jam dalam rekeningnya untuk
menghapus utang tidur yang diakibatkan oleh enam belas jam terjaga
terus-menerus.
“Kita perlu memperoleh sejumlah tidur setiap malam sehingga
tidak membuat atau tetap
mempunyai utang tidur,” ungkap William Dement dari Universitas
Stanford (Maas,
2002). Jika tidak, orang akan utang dan mengantuk setiap hari.
Aspek ketujuh adalah merasa segar ketika terbangun. Saat terbangun dari tidur yang cukup semestinya seseorang merasakan
rasa segar atau bugar saat terbangun. Dengan kebugarannya itu, ia siap
melakukan berbagai aktivitas sepanjang hari secara efektif dan efisien (Maas, 2002). Namun, tidak
semua orang yang tidur merasa bugar saat terbangun.
Banyak orang yang merasakan badannya tidak bugar, persendiannya ngilu-ngilu saat terbangun, matanya
ingin tertutup saja, dan sebagainya. Kualitas
Mimpi.
Mimpi, menurut Chaplin (1997), adalah deretan tamsil dan ide
yang lebih kurang saling bertalian dan berlangsung selama orang tidur, atau
selama orang dikuasai obat bius, atau sewaktu seseorang berada dalam situasi
hipnotis.
Sementara itu, yang dimaksud kualitas mimpi adalah suatu keadaan
di mana mimpi yang diperoleh seseorang banyak menggambarkan hal-hal yang benar,
menghasilkan optimisme serta kepastian bagi individu yang mengalaminya
(Nashori, 2004).
Tentang mimpi yang berkualitas ini karakteristik pentingnya
adalah mimpi yang memiliki aspek kebenaran (al-ru’ya
al-shadiqah, al-ru’ya
al-shalihah, penulis menyebutnya mimpi
nubuwat).
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh hadis Nabi: Mimpi yang baik datangnya dari Allah dan mimpi (polusi)
datangnya dari setan (HR Bukhari dari Abdullah Ibnu
Qatadah).
Hadis Nabi yang lain juga mengungkapkan: Mimpi yang
benar adalah salah satu dari empat puluh enam cabang kenabian (HR Bukhari
dari Anas bin Malik).
Berdasarkan berbagai macam pandangan, penulis membagi kualitas
mimpi menjadi tujuh aspek (Mubarok, 2004; Nashori, 2002; Shadiq, 1996):
Aspek pertama adalah meminta
perlindungan dari Allah ‘Azza wa jalla. Pada malam
hari,
dalam pandangan agama, manusia dalam keadaan tak berdaya,
terutama saat manusia
tertidur. Kekuatan-kekuatan yang mengganggu manusia ternyata
bekerja lebih keras.
Hal ini digambarkan oleh Al-Qur’an melalui Surat al-Falaq. Katakanlah: “Aku
berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya,
dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita
tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang dengki apabila
ia dengki.” (QS al-Falaq, 113:1-5).
Di dalamnya dijelaskan bahwa pada malam hari makhluk manusia maupun makhluk
halus
menggunakan malam untuk mendzalimi orang-orang yang tak mereka
sukai.
Dalam kondisi ancaman kejahatan berbagai makhluk, manusia dapat mempertahankan
dirinya untuk tetap terlindung dan tak terperdaya, yaitu dengan memohon perlindungan
kepada Allah. Intinya, agar dalam tidur tidak hadir gangguan berbagai makhluk,
termasuk melalui mimpi, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan meminta perlindungan kepada Allah.
Seseorang yang ada dalam perlindungan Allah berada dalam keadaan
aman. Andaikan
makhluk manusia maupun makhluk yang lain hendak mengganggunya,
kekuatan Allah akan
mampu menghadang gangguan yang datang.
Dalam berbagai hadits diungkapkan bahwa perlindungan dari Allah ‘Azza wa jalla
dicapai melalui serangkaian aktivitas, di antaranya adalah
membaca surat al-fatihah,
ayat kursi, surat al-ikhlas, surat al-falaq, dan surat al-naas
(Nashori, 2002).
Aspek kedua memperoleh mimpi yang menyenangkan. Dalam kehidupan sehari-hari,
seseorang mengalami berbagai pengalaman hidup.
Pengalaman-pengalaman hidup itu
secara garis besar dikelompokkan menjadi pengalaman yang
menyenangkan, pengalaman
yang tidak menyenangkan, dan pengalaman yang netral-netral saja.
Semua pengalaman hidup manusia itu terekam dalam alam sadar dan
tidak sadar seseorang. Ia akan memilih jalan untuk muncul kembali, salah
satunya adalah melalui mimpi. Bila seseorang melihat kembali gambaran positif
kehidupannya, maka ia memperoleh mimpi yang menyenangkan.
Contoh-contoh mimpi yang menyenangkan adalah bertemu dengan
orang yang disayangi,
berjalan-jalan di tempat wisata, berenang atau bermain-main di
danau atau di sungai yang
airnya mengalir perlahan, dan seterusnya (Nashori, 2004).
Aspek ketiga adalah memperoleh mimpi yang benar, berisi
pengetahuan (ide, masa depan,
pengetahuan masa lalu), petunjuk, dan peringatan). Berdasarkan penelitian Nashori (2001), diketahui bahwa mimpi-mimpi yang
benar dapat
ditemukan oleh seseorang. Mimpi
pengetahuan ini bisa berisi pengetahuan tentang suatu persoalan
yang membutuhkan pemecahan atau jalan keluar.
Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari seseorang menghadapi
masalah studi. Saat tertidur, ia memperoleh mimpi yang relevan dengan persoalan
hidupnya, yaitu apa yang harus dilakukannya agar studinya berjalan sukses (Mubarok,
2004).
Seseorang juga bisa memperoleh mimpi tentang sesuatu yang
berkaitan dengan masa depan. Misalkan, seseorang memimpikan meletusnya sebuah
gunung berapi dan ternyata
mimpinya itu beberapa waktu kemudian terbukti.
Mimpi yang benar juga berisi petunjuk, yaitu hal praktis apa
yang semestinya dilakukan. Misalnya, apakah memilih program studi tertentu atau
program studi lain. Kadangkadang
mimpi juga berisi peringatan, yaitu apa yang semestinya
dihindari dan ditinggalkan seseorang.
Aspek keempat adalah memandang hidup lebih positif dan optimis
setelah bermimpi. Dengan mimpi yang benar, seseorang
akan memperoleh insight atau pencerahan bahwa
setiap saat Allah ‘Azza
wa jalla akan melimpahkan karunianya kepada
siapa saja yang mendekatkan diri kepada-Nya, terutama ketika dilanda kesulitan.
Dengan kebersihan hati, hal-hal yang sulit akan lebih mudah diselesaikan.
Dalam situasi seperti ini, seseorang akan tumbuh sikap positif dan optimisnya
dalam memandang hidup.
Aspek kelima adalah menjaga jarak dengan mimpi. Sikap yang sangat dianjurkan bila
seseorang bermimpi buruk adalah menjaga jarak dengan mimpi.
Maksudnya, individu
tidak mempercayainya dan tidak menceritakannya kepada orang
lain.
Sebuah hadis Nabi Muhammad SAW menandaskan: Barangsiapa bermimpi buruk yang tidak disenanginya, maka
sesungguhnya mimpi itu berasal dari setan, dan hendaklah ia mehohon perlindangan kepada Allah dari setan
niscaya ia tidak akan mengganggunya,
serta hendaklah ia tidak menyebarkan mimpi itu kepada orang lain (HR Muslim dari Abu Qatadah).
Mimpi buruk tidak perlu diceritakan kepada orang lain, di
samping karena ia tidak benar dan tidak dapat dipercaya, juga sikap tidak menceritakannya
kepada orang lain dapat mengakhiri pengaruh psikologis mimpi tersebut.
Tidak menceritakan kepada orang lain berarti memutus hubungan
mimpi dengan kesadaran kita. Tidak menyebarkan mimpi buruk berarti meniadakan pengaruh
buruk mimpi kepada kenyataan hidup kita.
Aspek keenam adalah introspeksi dan pemantauan diri berkaitan
dengan mimpi. Introspeksi adalah usaha untuk
melihat ke dalam diri sendiri, terutama untuk melihat perilaku dan kondisi psikologis
seseorang.
Apakah selama ini hatinya tenang-tenang saja ketika diingatkan untuk tidak
berbuat hal yang buruk.
Pemantauan diri (self
monitoring) terutama dimaksudkan untuk setiap
saat melihat kecenderungan-kecenderungan
hati, seperti kecenderungan untuk berbuat curang, mementingkan diri sendiri,
merugikan orang lain, lupa terhadap Allah, lupa bersyukur, dan seterusnya.
Kondisi semacam ini dipantau untuk ditegur kalau memilih pilihan yang tidak semestinya.
Agak berbeda dengan introspeksi yang lebih diarahkan untuk
melihat diri secara keseluruhan dan di masa lalu, pemantauan diri terutama
diarahkan untuk melihat diri di sini dan saat ini.
Begitu bangun dari tidurnya seseorang bisa memantau diri apakah merasakan
ketakutan, kegelisahan, dan seterusnya. Kalau ya, maka tugas berikutnya adalah
memasrahkan diri kepada Allah ‘Azza wa jalla (Nashori, 2002).
Aspek ketujuh adalah mengambil hikmah dari mimpi. Bila mimpi buruk sudah terjadi yang
semestinya dilakukan adalah mengambil hikmah dari mimpi tersebut.
Mimpi kekasih
direbut orang mengisyaratkan pesan agar seseorang memberikan
cinta yang tulis kepada
kekasihnya.
Mimpi bertengkar dengan orangtua mengandung pelajaran betapa buruknya
kalau itu benar-benar terjadi dan karenanya seseorang perlu meneguhkan komitmen
untuk selalu menyayangi dan menghormati orangtua (Nashori, 2002).
Kualitas Tidur dan Kualitas Mimpi Mahasiswa Pria dan Mahasiswa
Wanita. Sebelum melakukan pengambilan data, penulis telah banyak melakukan pengamatan dan wawancara terhadap berbagai macam fenomena kualitas tidur dan
kualitas mimpi di kalangan mahasiswa UII.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang penulis lakukan,
dapatlah diketahui bahwa banyak mahasiswa yang memulai tidur di waktu sudah
sangat larut dan bangun juga terlambat.
Mahasiswa laki-laki suka memulai tidur ketika waktu menunjukkan pukul
12 malam. Mahasiswa perempuan memiliki kebiasaan tidur yang lebih baik, yaitu tidur
lebih awal.
Sekalipun demikian ada sejumlah perkecualian, khususnya mereka yang
suka menghabiskan waktu malamnya dengan dugem atau dunia gemerlap. Mereka keluar rumah dan melakukan aktivitas
hingga pukul 3 pagi, namun yang melakukan hal seperti ini terbilang sedikit.
Salah satu hal penting adalah toleransi yang berbasis jender. Sebuah
kebiasaan yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah memberi peluang
kepada laki-laki
untuk pulang hingga larut malam.
Laki-laki diperkenankan untuk menuntaskan berbagai
urusannya hingga larut malam bahkan pagi hari, sementara
perempuan tidak diperkenankan.
Kalaupun perempuan diperkenankan, biasanya harus ditemani
laki-laki. Toleransi terhadap aktivitas di larut malam pada lakilaki ini secara
keseluruhan akan menyebabkan
pengelolaan tidur laki-laki berbeda dengan pengelolaan tidur
perempuan. Laki-laki merasa
lebih bebas menggunakan waktu malamnya dibanding perempuan.
Hal itu pulalah yang terjadi pada mahasiswa. Mahasiswa laki-laki
merasa tidak bermasalah ketika pulang larut malam sementara kalau perempuan melakukannya,
maka itu dipandang sebagai sangat bermasalah.
Dampak lanjutannya adalah kualitas tidur laki-laki mungkin lebih
buruk dibanding kualitas tidur mahasiswa perempuan.
Selain tidur, masalah mimpi juga berbeda antara laki-laki dan
perempuan. Berdasarkan berbagai pengamatan dan wawancara, perempuan lebih
mungkin memiliki mimpi yang lebih berkualitas dibanding laki-laki.
Dasarnya adalah karena kualtias tidur perempuan lebih baik
dibanding kualitas tidur laki-laki. Padahal mimpi yang dialami seseorang itu
terjadi dalam tidur seseorang. Namun, demikian laki-laki dimungkinkan juga
untuk memiliki kualitas mimpi yang lebih baik daripada mahasiswa perempuan.
Seperti diketahui bahwa (mahasiswa) laki-laki biasanya kurang
terlibat secara emosional dibanding mahasiswa perempuan terhadap persoalan-persoalan
yang dihadapi.
Keterlibatan yang intens dengan suasana emosi saat terjaga
memungkinkan mimpi para mahasiswa wanita untuk terpengaruh oleh pengalaman
emosional. Padahal, seperti diketahui bahwa mimpi yang dialami seseorang sangat
dipengaruhi oleh pengalaman batin seseorang saat sadar.